Bertemu Malaikat

Selama kuliah ini, gue aktif di salah satu Unit Kesenian Mahasiswa (UKM) Teater. Di UKM ini, ada 3 acara super penting yang membuat lo sah jadi anak UKM Teater (nggak juga, sih): Pentas Inaugurasi (pentas khusus mahasiswa/anggota baru), Pentas Trio (pentas yang diadakan bersama dengan 2 komunitas teater lain di luar kampus), dan Pentas Besar (pentas yang diadakan di Taman Ismail Marzuki). Nah, saat ini, gue sedang menjadi panitia (sekaligus pemain) di Pentas Besar (yang selanjutnya akan disingkat dengan penbes). (gue otw gila semester ini).

Penbes ini butuh banyak sekali dana yang bikin gue selaku tim pencari dana (sekaligus bendahara) (sudah rangkap jabatan sejak muda) menghela napas panjang dan ngerasa pengen ngerampok bank setiap selesai rapat. 3 bulan sebelum acara berlangsung, dana yang terkumpul masih kurang banyaaak banget. Kami, tim dana, pusing banget mikirin gimana cara ngumpulin dana ini dengan lebih cepat (dan lebih banyak) karena ada banyak bill yang harus segera dibayar. 

Salah satu cara kami nyari dana adalah dengan jual benda-benda lucu (tapi sebenernya ga penting-penting amat) di beberapa kawasan sekitar Jakarta Barat dan Jakarta Utara. Kami biasanya akan terbagi dalam 3 kelompok yang disebar di lokasi berbeda untuk nawarin dagangan (sekaligus promosi acara). Biasanya, kami akan berjualan di hari Jumat malam dan Sabtu malam. Prosesnya adalah kami mendatangi tempat makan dan mengganggu menghampiri seluruh pengunjung untuk menawarkan barang dagangan dengan harga sukarela. Berbagai cara pun kami lakukan, mulai dari menawarkan barang dengan lembut dan sedikit memelas sampai menawarkan barang dengan berapi-api dan penuh komedi (yang agak maksain) (dan agak ganggu kayaknya) (tapi works di kalangan muda-mudi).
 
Terdapat banyak kejadian selama proses pencarian dana ini, dari yang bikin ketawa sampe bikin marah-marah. Ada masa di mana kami cuma dapet sedikit uang karena si pembeli benar-benar memanfaatkan terminologi "sukarela", lalu bertemu mami-mami rempong tapi royal, sampai sembunyi-sembunyi dari preman berkedok pengamen karena takut dikira ngambil lapak mereka T_T

Masalah kecil muncul ketika gue dapet kabar dari ketua tim dana bahwa pekan ini cuma segelintir anak yang bisa ikut jualan. Di hari Jumat, kurang dari 10 anak yang bisa ikut. Di hari Sabtu, hanya 2 anak yang bisa dan kami nggak mungkin maksain mereka untuk tetep cari dana karena kami bukan VOC merasa perbuatan itu kurang oke. Di tengah kegelisahan itu, kami memutuskan untuk tetep cari dana di hari Jumat dengan hanya menyisir satu daerah, yakni Muara Karang. 

Sepulang latihan teater, kami berangkat bareng dari kampus menuju Muara Karang. Di tengah perjalanan, ketua tim gue hampir nangis karena pusing mikirin uang masih kurang tapi Sabtu besok harus terancam kehilangan pemasukan karena nggak ada cukup tenaga buat jualan. Gue diem, bukan karena gue berusaha tenang, tapi karena gue bahkan udah nggak punya cukup energi untuk nangis. Capek luar biasa baik fisik maupun otak (serta mental). Sesampainya di Muara Karang, kami terbagi ke dalam 2 kelompok, biar cepat selesai.

Di lokasi pertama, ada sedikit drama dengan salah satu calon pembeli. Jadi, kami nawarin barang dagangan di salah satu meja yang ditempati oleh 1 pemuda, 1 ibu-ibu, dan 1 anak kecil. Teman gue nawarin barang seperti biasa, trus si pemuda ini nanya:

"Harganya berapa?"
"Sukarela, Kak."
"Nggak bisa begitu, berapa harganya?"
"Seikhlasnya Kakak aja, kami nggak bisa kasih nominal tertentu."

Di sini, si ibu-ibu sebenernya udah mau kasih uang, tapi ditahan sama pemudanya. "Nggak, nggak bisa gitu. Coba ngomong yang jelas, kalian maunya berapa?!!" Di sini darah gue udah agak mendidih, jadi teman gue langsung bilang, "ya udah, nggak usah aja nggak apa-apa, Kak. Makasih ya, maaf ganggu waktunya." "Oke."

Kami coba nawarin di meja lain, beberapa dari mereka langsung nyuruh kami pergi bahkan sebelum kami sempat ngomong apa-apa. Rasa frustrasi pun semakin menjadi.

Akhirnya kami pindah lokasi. Di tempat makan kali ini, kami menghampiri sebuah meja yang ditempati 3 bapak-bapak. Kami menawarkan barang seperti biasa, lalu ada 1 bapak-bapak yang kemudian nanya lebih lanjut tentang acara kami. Kami menjelaskan dengan penuh semangat. Beliau nanya tentang cerita yang dipentaskan, gimana konsepnya, dan lain-lain. Di sini gue udah curiga kalau beliau ini orang teater (atau setidaknya seniman) juga, karena pertanyaannya cukup detail. Setelah itu, kami menjajakkan barang dagangan di atas meja beliau. Setelah lihat-lihat barang, beliau pun ngeluarin dompet dan gue udah mau sujud syukur di tempat rasanya.

Di tengah-tengah si bapak ini menghitung uang, seorang bapak-bapak lain di meja itu ngasih tunjuk HP beliau ke kami. Di HP itu, beliau menunjukkan sebuah akun Instagram berisi foto sekumpulan orang yang di antaranya terdapat seorang artis kenamaan ibukota. "Kalian nggak tau dia siapa?" tanya si bapak-bapak ini ke kami sambil menunjuk ke bapak-bapak yang lagi menghitung uang. "Ehh, nggak usah, jangan," timpal si bapak yang sedang menghitung uang. Lalu si bapak-bapak yang punya HP itu menunjukkan foto lain, kami masih clueless. Siapa, sih?

Waktu si bapak-bapak yang sedang menghitung uang ini mau bayar, gue langsung menyerahkan amplop yang kemudian beliau isi dengan berlembar-lembar uang merah!?!?!?!?!?!?!#$ Pas megang uangnya, gue langsung membeku, teman-teman gue speechless. Pengen ngomong "aduh, Pak, kebanyakan" TAPI KAMI KAN LAGI BUTUH. Akhirnya, kami ngasih barang dagangan yang lebih banyak lagi sambil diiringi suara tangisan teman gue. Ya, seorang teman gue beneran langsung nangis di tempat. Trus si bapak ini bilang, "nggak usah, ini sisa barangnya kalian jual ke yang lain aja. Nggak apa-apa, saya tau kok bikin pentas itu mahal," membuat gue ingin mendoakan bapak malaikat ini 7 hari 7 malam.

Lalu, seorang bapak-bapak lainnya di meja itu nanyain akun Instagram teater kami. Si bapak malaikat kemudian nanya lagi:

"Eh, jadi kapan pentasnya?" 
"2 November, dateng ya!!!!!!!!" 
"Yahh, November kami ke Hong Kong, tapi coba liat nanti ya."
"Yahh, oke deh. Tapi kalau nggak bisa dateng di pentas yang ini, bisa dateng ke pentas lain kok! :D"
"Hahaha, oke! :D"

Lalu kami pamit sambil berterima kasih dengan membungkuk-bungkuk. We were this close to berlutut di hadapan beliau tbh.

Setelah itu, kami menawarkan barang dagangan ke pengunjung lain. Setelah mengitari seluruh meja, kami pulang dan melewati meja bapak malaikat tadi dan kami semakin bingung karena ada pengunjung yang antre foto bareng sama beliau. Kami jalan ke titik kumpul untuk bertemu teman-teman dari kelompok lain sambil bertanya-tanya, "dia siapa, sih!?!??!"

Kami stalk akun Instagram yang tadi ditunjukkan, no idea. Lalu merambah ke akun lain, no idea. Lalu tibalah kami di sebuah akun, yang ternyata adalah akun utama beliau, lalu kami kaget karena akunnya verified dan followers-nya banyak tapi kami masih gak tau beliau siapa. Pas gue liat di mutuals, salah satu sepupu gue follow beliau. Ternyata, beliau adalah designer aksesoris. Lalu, salah satu teman gue (yang juga adalah seorang model) bilang "loh? Ini mah gue pernah pake headpiece-nya!" dan kami semua speechless (lagi).

Waktu kami akhirnya bertemu dengan teman-teman dari kelompok lain, kami udah nggak sabar mau cerita, tapi mereka terlihat pengen cerita juga. Ternyata, teman-teman di kelompok lain ini papasan sama salah satu dosen dan tebak apa? Malaikat baik berwujud dosen ini NGEBORONG DAGANGAN MEREKA! Lalu, karena barang dagangan masih sisa 1 dus, kami memutuskan mengitari kawasan yang lebih jauh lagi. 

Kami memasuki kawasan seafood yang rame banget. Di sini, kami dikasih tambahan kebahagiaan lain. Kami mampir ke sebuah meja yang isinya opa-opa (opa, bukan oppa). Berhubung beliau cuma lancar bahasa Mandarin, yang banyak ngobrol akhirnya teman gue. Dan berhubung si opa ini nggak megang Rupiah, akhirnya pembayaran dilakukan dengan transfer. Dagangan masih sisa, kami memutuskan mampir ke Tanjung Duren dulu sebelum pulang ke rumah masing-masing.

Di Tanjung Duren, kami masuk ke sebuah tempat makan. Di sini kami bertemu sekumpulan bapak-bapak Korea yang nggak bisa bahasa Indonesia tapi aksen bahasa Inggrisnya juga agak bikin bingung. Tapi, si bapak-bapak ini tuh asyik dan royal banget! Selesai dari tempat ini, kami udah capeeek banget dan memutuskan pulang ke rumah masing-masing. Sebelumnya, kami hitung uang dulu dan rasanya langsung pengen nangis karena total penghasilan di hari itu cukup banget buat nutup absennya penjualan di hari Sabtu.

Di jalan pulang ke rumah, gue masih shock sama kejadian di sepanjang hari itu. Gue kaget sekaligus bersyukur karena ternyata orang baik di dunia ini masih banyak. Gue juga kaget karena, meskipun gue bukan orang religius, ternyata Tuhan masih peduli sama gue dengan mengirimkan banyak malaikat buat gue untuk mengatasi kekhawatiran gue terkait pencarian dana ini. Terima kasih banyak, orang-orang baik!

Jakarta, 26 Juli 2019.

SEDIKIT TAMBAHAN:
Designer aksesoris yang gue sebut di atas namanya Rinaldy Yunardi. Sepulang dari pencarian dana, ketua pelaksana gue memutuskan untuk ngasih beliau undangan sebagai tamu di pementasan kami via Instagram. Perkara bisa datang atau tidak, kami serahkan sepenuhnya ke beliau, kami hanya ingin menunjukkan rasa terima kasih. Dan ketika gue mengira beliau nggak bisa lebih baik lagi, ternyata gue salah. Setelah kami mengirimkan undangan, beliau gantian ngasih undangan ke kami untuk hadir di show tunggalnya di JFFF Awards 2019. Undangannya tanpa batas alias beliau bahkan nanya "kalian mau berapa undangan? 1 undangan berlaku untuk 2 orang." :""")

Sumber: CNBC Indonesia/Lynda Hasibuan


TAMBAHAN LAGI:
Om Rinaldy akhirnya jadi dateng ke pentas gue <3 T_T <3

Terima kasih banyak, Om Rinaldy Yunardi. Semoga hanya hal-hal baik yang mengelilingimu!

***

Terima kasih juga untuk semua orang baik yang mengizinkan acara gue bisa terlaksana dengan baik!


     


Comments

Popular Posts