Belajar dari Squid Game
Setelah empot-empotan ngerjain seminar proposal, gue ngumpul bareng sepupu gue dan nonton Squid Game bareng mereka. Bagi kalian yang belum nonton series ini, lebih baik jangan lanjut baca karena akan ada sedikit spoiler. Tapi kalau kalian nggak peduli sama spoiler, lanjut baca aja gapapa.
Series ini berkisah tentang permainan anak-anak yang dimainkan oleh orang dewasa. Pemain yang kalah dalam permainan akan ditembak mati, dijatuhkan dari ketinggian sampai mati, atau bisa juga dibunuh oleh sesama pemain yang berambisi untuk menang. Intinya, yang kalah akan mati. Sementara itu, pemenangnya berhak melanjutkan hidup dan mendapatkan uang sejumlah 45,6 miliar won. Bisa dibilang, Squid Game adalah permainan bertahan hidup.
Kalo lo ngeliat sistem permainan ini, kayaknya mirip sama nasib manusia di tengah dunia ini nggak sih? Setiap orang berlomba mengumpulkan harta benda, bahkan sampai menghalalkan segala cara. Hukum seleksi alam kemudian bermain di sini: Barang siapa kuat (dan cerdas), maka ia dapat bertahan. Sisanya? Akan mati secara perlahan dan bumi beserta segala isinya akan terus berjalan. Nggak ada waktu untuk berkabung terlalu lama karena setiap orang harus kembali berjuang mengumpulkan pundi-pundi sembari menunggu giliran untuk "pulang".
Kembali ke Squid Game, gue merasa sedikit tercubit waktu nonton episode keenam. Di episode tersebut, para pemain diharuskan memilih pasangan. Berkaca dari episode sebelumnya, para pemain mencari pasangan untuk kemudian dijadikan rekan satu tim dan bekerja sama memenangkan permainan. Pemain diberi kesempatan untuk mencari pasangan dalam kurun waktu tertentu. Saat waktu pencarian pasangan selesai, ada 1 orang yang nggak dapet pasangan. Karena nggak dapet pasangan, ia ditarik oleh petugas entah ke mana. Gue berasumsi orang tersebut akan mati dibunuh oleh petugas.
Sistem permainan diumumkan. Ternyata, pada permainan ini, setiap pasangan justru akan menjadi rival alih-alih rekan satu tim. Itu artinya, dari setiap pasangan yang ada, salah satu sudah pasti mati. Di akhir permainan, para pemain yang tersisa diizinkan kembali ke ruangan mereka–semacam kamar bersama–untuk istirahat. Waktu sampai kamar, para pemain yang tersisa ini kaget karena pemain yang ditarik petugas tadi ada di sana. Usut punya usut, ternyata petugas membiarkan dia hidup karena mereka ngerasa nggak adil kalau harus membunuh seseorang yang menjadi "buangan". Gue dan sepupu gue dengan kompaknya refleks ngomong, "tau gitu mending nggak dapet pasangan!"
Wow. Ternyata, menjadi yang "tidak terpilih" nggak selamanya buruk. Bahkan, di waktu tertentu, menjadi yang "tidak terpilih" justru membuat kita selamat dari segudang ancaman yang siap menerkam. Hal ini membuat gue jadi sedikit merenung. Gue sering berada di posisi "tidak terpilih" yang tak jarang membuat gue merasa takut, sedih, sekaligus marah. Gue selalu berasumsi bahwa menjadi "tidak terpilih" menandakan gue adalah manusia gagal yang harus siap terkubur begitu dalam. Padahal, menjadi "tidak terpilih" belum tentu berarti gagal. Bisa jadi, gue hanya diminta menunggu sebentar untuk menikmati permainan lain yang lebih sesuai buat gue.
Gue putar lagi segala adegan kehidupan gue waktu gue begitu berambisi untuk "terpilih" namun berakhir dengan "tidak terpilih." Ah, mungkin kalo dulu gue berhasil dapet A, gue malah nggak bisa berkembang seperti yang gue impikan. Atau mungkin kalo dulu gue berhasil dapet B, gue akan jadi pribadi yang sombong dan hancur karena kesombongan. Atau mungkin kalo kemarin gue terpilih menjadi C, kondisi fisik dan mental gue malah akan semakin hancur. Atau mungkin ini cuma akal-akalan gue aja untuk menghibur diri.
Well, mungkin ini waktunya gue mencoba menyisipkan sudut pandang positif dari setiap keterpurukan yang gue alami. Susah memang untuk mengakui, menerima, dan mengikhlaskan ketidakterpilihan. Tapi toh hidup harus terus berjalan. Gue nggak bisa terlalu lama tenggelam dalam perasaan duka karena yang ada langkah gue malah bisa jadi semakin berat dan membuat gue nggak jalan ke mana-mana.
Nggak apa-apa merasa sedih dan takut karena tidak terpilih, tapi belajarlah bangkit secara perlahan. Coba pahami maksud Tuhan (atau kekuatan lain di luar manusia yang kamu percaya) terkait pengalaman itu. Siapa tau kamu justru sedang diselamatkan dari marabahaya yang siap menggerogoti dirimu.
Sakit dan terlukalah, nikmati perihnya. Namun, kembalilah pulih. Dunia ini terlalu luas, masih banyak yang belum dicoba. Semangat!
![]() |
because the only one who responsible for my life is my own self |
Comments
Post a Comment