Sadarkah?

Ia berjalan menyusuri halte sembari melihat panduan rute bus kota melalui ponselnya. Rupanya, 19 tahun hidup di kota yang sama tidak lantas membuatnya menguasai rute perjalanan. Di tengah himpitan manusia yang kelelahan akibat dipecut oleh atasan di kantor, ia bersikeras untuk melepas gundah di bagian Utara kota ini. Aku memandanginya dan berbisik, "yakinkah semua selesai hari ini?" tak ada jawaban yang keluar.

Setelah tiba di tempat pemberhentian terakhir, ia memilih untuk berjalan kaki. "Kenapa jalan? Tujuanmu masih jauh, naik minibus saja," ucapku. "Aku maunya jalan," sanggahnya. Di bawah hamparan langit oranye ia berjalan, tanpa keluh sedikit pun. Ia terus berjalan menyusuri dermaga, matanya berpindah-pindah antara laut dan kapal-kapal yang baru saja berlabuh. Telinganya menangkap banyak stimulus, mulai dari riuh ombak, mesin kapal, hingga suara kumpulan bocah yang ada di kejauhan. Dihirupnya kuat-kuat bau laut, ia mengabaikan peluh yang perlahan mengucur dari keningnya.

Ia terlihat tenang. Aku ulangi, terlihat tenang. Ia memang terlihat tenang, tapi kepalanya tidak. Ia terlihat menikmati, tapi hatinya tidak. Ia tidak paham apa yang terjadi pada dirinya, pun aku. Aku hanya tahu ia butuh tempat menepi, tempat yang seolah-olah dapat menghanyutkan segala mimpi buruknya. Aku mengikutinya dalam diam, ku biarkan ia merasa bebas.

Sang surya sudah hampir sampai di ujung jam kerjanya, ia pun mempercepat langkah kakinya. Ketika langit sudah menghitam, perutnya mendadak meminta asupan. Dijajakinyalah sebuah restoran cepat saji lalu memesan beberapa makanan tanpa melupakan hidangan kesukaannya, kentang goreng. Ia memilih untuk makan di dekat pantai, bersama beberapa pengembara lain yang lebih dulu mengisi tempat.

Ia makan dalam hening. Tapi aku paham, keheningan itu hanya di luar, isi kepalanya pasti sedang sangat berisik. Tak lama, alunan musik terdengar. Sekelompok muda-mudi melantunkan beberapa lagu diiringi petikan gitar yang sangat syahdu, seakan paham bahwa keheningan itu harus dipecah agar kebisingan di kepalanya tidak semakin nyaring. Ia mendengarkan dengan seksama, kemudian ikut menyanyi pelan.

Waktu menunjukkan pukul 9 malam, ia memilih untuk pulang.

"Kenapa pulang? Sudah puas? Sudah lega?"
"..."
"Adakah cara lain agar kamu puas atau lega?"
"Entah, mungkin ini hanya perkara waktu."

Aku tertawa. Tawa ini bukan tawa meledek, bukan pula tawa senang. Refleksku memang acapkali buruk, tapi aku sendiri tak paham harus bereaksi seperti apa. Aku kasihan, tapi aku paham ia tak suka dikasihani. Aku kasihan, karena ia belum juga sadar. Ia tak sak sadar bahwa lukanya sudah begitu dalam dan mulai membusuk. Ia tak sadar bahwa lukanya tak bisa kering begitu saja. Ia tak sadar bahwa yang ia butuhkan bukanlah mengasingkan diri. Ia butuh mengungkapkan, ia butuh mengikhlaskan, ia butuh memaafkan. Bukan, bukan memaafkan mereka, tapi memaafkan dirinya sendiri yang sudah ia bohongi selama bertahun-tahun. Ia butuh memaafkan, bukan "memaafkan Tuhan", tapi memaafkan dirinya sendiri yang sudah ia tekan tanpa ampun selama bertahun-tahun.

Tunggu, benarkah ia tak sadar? Mungkinkah sesungguhnya ia sadar tapi memilih untuk (seolah-olah) tidak sadar?

Comments

Popular Posts